Jangan
Komentari Ide Gila “Liberalisme”
Prof. DR. Mohammad Wan Daud Wan Anwar
Beberapa
waktu lalu, sebuah workshop yang membedah ide sekulerisme dan liberalis me dalam
Islam digelar di Depok, Jawa Barat. Satu di antara pembicaranya adalah, Prof.
DR. Moh. Wan Daud Wan Anwar, Muslim Malaysia yang dikenal gigih memben dung
pemikiran liberal dan sekuler yang menyerbu kaum Muslim.
Prof.
Wan, begitu ia akrab dipanggil, kini aktif mengajar di International Institute
of Islamic Thought and Civilization (ISTAC) di International Islamic University
Malaysia (IIUM). Suaranya cukup lantang jika bicara soal gagasan sekulerisme dan
liberalisme. Termasuk komentarnya tentang peristiwa Masdar F. Masudi,
pimpinan gerakan Islam Emansipatoris yang menggagas haji bisa dilakukan tak
hanya di bulan Dzulhijjah saja. “Gagasan-gagasan seperti ini tak perlu
ditanggapi, ignore saja. Kalau orang gila itu dikomentari dia bisa jadi orang
penting,” tuturnya.
Sebelum
menyampaikan pikiran-pikirannya dalam workshop tersebut, Herry Nurdi dari SABILI
sempat berbincang dengan Prof. DR. Mohammad Wan Daud. Perbincangan kian seru
ketika Adian Husaini yang sedang menuntaskan program PhD-nya di ISTAC-IIUM,
turut bergabung dalam obrolan. Menurut
Prof. Wan, saat ini Barat begitu gencar mencoba menjebol pertahanan akidah kaum
Muslim dari berbagai pintu, terutama sekulerisme dan liberalisme. Menurutnya,
gerakan-gerakan sepertii mempunyai target mengaburkan epistemologis atau
menyarukan kebenaran Islam. “Jika sudah samar dan kabur, pikiran dan gagasan
apa saja bisa diamalkan dan dihalalkan. Ini berbahaya,” tuturnya. Berikut
petikan obrolannya:
Apa
komentar Anda tentang gagasan haji yang dilontarkan Masdar F. Masudi?
Jangan
dikomentari saja. Sebab kalau kita mengomentari hal yang gila, kita pun jadi
gila. Kalau orang berkomentar, dia akhirnya menjadi penting. Publisitas akan
memberikan market yang lebih besar untuk orang-orang seperti ini. Dia sudah
menyalahi apa yang dikerjakan oleh Nabi Ibrahim. Bagaimana bisa orang mengaku
lebih pintar dari para anbiya. Di
Singapura, ada seorang minister Muslim yang pernah mengusulkan puasa dipindah
dari bulan Ramadhan ke Desember. Alasannya, esensi puasa adalah memerangi
maksiat dan bulan paling banyak maksiat dan banyak yang bunuh diri di bulan
Desember. Saya sampaikan, kalau Anda mau berpuasa di bulan Desember, silakan
saja. Tapi itu bukan Ramadhan, kecuali kalau ditakdirkan Ramadhan jatuh pada
bulan Desember. Tujuan puasa tidak saja melawan maksiat, tapi mengikuti ajaran
Nabi Muhammad. Begitu pula dengan haji yang mengikuti uswah Nabi Ibrahim. Dia
ingin berhaji tidak pada bulan yang ditentukan karena mau mengelak dari kematian?
Mereka hendak mengaburkan epistemologis Islam.
Kalau
sudah kabur epistemologis, apapun bisa terjadi?
Ya.
Kalau berdasarkan logika, mestinya kita shalat dzuhur tidak empat rakaat, karena
waktu-waktu itu adalah jam sibuk. Dua rakaat lebih baik. Rakaat Subuh digantii
Dzuhur. Lalu lama-lama, shalat hanya ritual saja, dan tidak diperlukan lagi,
yang penting Allah. Jangan dikomentari hal-hal seperti ini, mereka akan menjadi
selebriti. Memang akan ada orang-orang yang memberi fatwa mati, tapi itu hanya
menjadikan dia terangkat. Tapi kalau kita diamkan, mereka akan mati sendiri.
Menurut
Prof. Wan Daud, bagaimana perkembangan liberal thinker di kalangan Muslim
Indonesia?
Dulu
Pak Naquib (Muhammad Naquib al Attas, red) pernah ditanya, apa komentarnya
tentang orang-orang yang memperolok hadist. Kalau masalah dipertajam, kita susah
jadinya, lebih baik diamkan saja. Jangan baca bukunya. Jangan komentari
pemikiran nya. Kalau dikomentari, kita akan membuat kuman menjadi gajah.
Apa
konsekuensinya kalau kuman menjadi gajah? Apa yang paling dirugikan?
Umat akan
keliru tentang letak perkara yang sesungguhnya. Yang kecil dibesarkan, yang
besar jadi tak tampak. Kita harus melawan yang besar, bukan yang kecil-kecil
macam ini. Ha...ha...ha....
Akhir
tahun 2003 lalu, sebuah lembaga survei di Indonesia menyatakan mayoritas Muslim
Indonesia adalah Islam liberal, bagaimana menurut Anda?
Kita
tengok dulu, apa yang dimaksud dengan makna liberal itu sendiri. Jadi kalau
liberal dari segi mana dulu atau segi tertentu.
Misalnya?
Umat
Islam umumnya tidak merusak hak-hak orang lain. Di Turki, Irak, hatta di Arab
Saudi pun liberal, tidak mengacak-acak hak-hak non muslim. Jadi kalau makna
liberal itu menjadi longgar, ini yang jadi liberal.
Bahkan
Yusuf Qaradhawi masuk dalam daftar Muslim liberal?
Kalau
definisi itu menjadi kabur, maka bukan definisi lagi namanya. Definisi itu harus
mengikat, jadi kalau semuanya liberal sudah tak bermakna, maka liberal tadi
sudah bukan definisi lagi. Apa itu gajah, kucing, anjing? Gajah itu yang ada
belalai, tinggi, besar. Maka beda dengan anjing. Sekarang apa definisi hewan?
Tentu lain lagi, dia mahluk yang hidup dan bergerak.
Sekulerisasi
dan liberalisasi ada di semua agama. Apakah ini memang sebuah keharus an sejarah?
Kita tidak
setuju dengan banyak aspek yang lainnya. Kalau makna sekulerisasi itu
membebaskan manusia dari tahayul, syirik, klenik hal-hal yang tidak rasional,
Islam menerima hal itu. Tapi aspek lainnya dalam paham liberal tidak hanya
menghapus yang tahayul, tapi juga menolak hal-hal yang supra-rasional, seperti
Tuhan. Ekstrem sekulerisasi itu yang kita tolak. Kita jadi umat wasathan yang
mutlak. Berada di tengah-tengah. Orang-orang Barat tidak punya undang-undang
yang mengontrol itu semua. Bible sudah tak bermakna bagi mereka.
Kenapa
mereka tak bisa menjadi bible sebagai rujukan?
Mereka
tahu bahwa bible bukan lagi firman Tuhan. Sebetulnya, itu adalah masalah mereka
sendiri. Jangan pula ditularkan kepada kita. Mengapa harus menyalakan lilin
kalau kita punya matahari. Lilin memang lampu dan bercahaya, tapi tak tak terang
dan tak bisa lama. Sedangkan al Qur’an itu lebih sempurna.
Gerakan
pengaburan epistomologi ini terstruktur dan teragenda?
Ya,
pihak yang mendominasi itu yang akan memarakkan paham sesat. Itu biasa. Dia
tunggangi teknologi, militer dan media.
Dalam
konteks ini, kekuatan dominasi itu Amerika atau ada kekuatan lain?
Barat
bukan Amerika saja. Dia sebuah fikrah campuran dari ideologi dan kebudayaan yang
mencakup Romawi, Yunani, Judeo, Kristiani. Itu semua adalah Barat.
Kalau
dikaitkan dengan teorinya Huntington tentang permanen confrontation, bagaimana
posisi Islam dan Barat?
Islamisasi
ini mempunyai sedikit kesamaan dengan sekulerisasi dan liberalisasi, dalam hal
sebagai proses bukan sebagai ideologi. Sudah banyak orang memahami Islam sebagai
din wa daulah. Kita tidak mengenal daulah di luar din. Agama itulah
daulah. Islam akan menuju ke arah sana. Di berbagai tempat di Barat, ada
macam-macam yang menonjol. Kadang Yahudinya, atau Kristennya, atau Yunani atau
Romawi. Tapi kalau soal menentang Islam, mereka bersatu dan merapatkan barisan.
Siapa
yang dominan menguasai gerakan?
Saya
tak peduli siapa, apakah di dalam atau luar negeri, tak penting. Karena itu
bukan satu orang, satu negeri atau satu partai. Al Qur’an menyebutnya sayatin,
jamak. Setannya banyak. Ada
beberapa model yang sebenarnya sama dengan sekulerisasi dan liberalisasi. Tapi
semuanya sama, mencoba merongrong pangkal dan puncak agama. Mereka menganggap
agama atau Islam seperti isme. Orang-orang seperti ini hendak memaksakan Islam
ke dalam lubang pemahamannya
sendiri.
Bagaimana
masa depan sekulerisasi dan liberalisasi di Indonesia menurut Anda?
Mereka
akan terus berusaha mematikan lampu agung dien ini. Sebagai gantinya mereka
mencoba menyalakan lilin-lilin kecil. Janganlah Muslim mau diperdaya, menukar
lampu-lampu agung warisan para anbiya dengan lilin-lilin kecil tipu muslihat
para cendekia-penyeru kesesatan. Itu perbuatan bodoh. Nabi
Orang yang harus kita contoh pribadinya, serta para shahabat memberi sumbangan
besar pada Islam. Bukan hanya satu generasi tapi terhadap berpuluh generasi.
Sebab kalau otoritas para anbiya ini ditolak, maka Islam akan ditolak dengan
mudah. Sekulerisasi
adalah satu konsep yang hendak mengeluarkan kesadaran tentang hakikat ruhani
dari alam tabiat, ilmu pengetahuan dan perbuatan manusia. Itu semua tak bisa
diterima Islam. Tapi di sisi lain, sekulerisasi bermakna menolak hal-hal tahayul,
magic dan juga semua yang tak rasional. Ini bisa di terima Islam.
Sekuler
tidak sama dengan sekulerisme. Sekuler berarti sesuatu yang berorientasi pada
masa kini dan tempat ini. Sedangkan sekulerisme sebagai ideologi berarti hanya
menerima di sini dan sekarang, lalu menolak semua masa depan yang bersifat
ukhrawi. Mereka menolak adanya alam malaikat dan yang sebagainya. Islam tidak
demikian. Kita tidak menafikan masa yang telah lalu dan masa yang akan
datang.Paham sekuler menolak pengekangan atas penggunaan akal yang pernah
dilakukan oleh gereja selama ratusan tahun. Kini Barat mengangkat peranan akal
melebihi segalanya. Kita bisa menerima peranan akal, tapi tapi bukan sebagai
satu-satunya the role of reason.
Apa
yang sebenarnya diinginkan oleg gerakan-gerakan seperti ini?
Trend
sekulerisasai dan liberalisasi ingin mengguncang epistemologi Islam. Ini yang
mereka inginkan pada Islam. Mereka mengatakan, Tuhan mungkin ada, menciptakan
alam ini, tapi dia mati. Einstein, dengan akalnya yang pintar dia mengakui bahwa
alam ini terlalu teratur untuk terjadi dengan sendirinya. Pasti ada penciptanya
yang lebih pintar di balik ini semua. Tapi dengan akalnya saja, dia tidak akan
pernah tahu siapa pencipta alam semesta. Dia juga tidak akan pernah tahu
bagaimana memuji penciptanya dan tidak tahu bagaimana beribadah kepada-Nya.Tapi
dengan iman dan Islam, kita tahu nama pencipta adalah Allah. Siapa yang
menunjukkannya pada kita? Bukan akal, bukan pula pengalaman kita sendiri. Tapi
Ayat-ayat yang tidak pernah berbohong. Lalu hal seperti ini hendak dibongkar
oleh paham-paham seperti sekulerisme dan liberalisme. Mereka menafikan Rasul dan
para sahabat. Dan bodoh jika kita memperturutkan hal yang seperti ini. Bodoh
jika kita mematikan lampu-lampu agung lalu menggantinya dengan lilin kecil yang
tak terang dan tak abadi.
Tapi
dikalangan Muslim muda Indonesia, gerakan menolak otoritas agung mendapat respon
yang cukup....
Anak muda
tak apalah, kalau yang tua memikul itu bahaya. Orang muda bisa berbuat salah.
Dia masa mengembara, pada saatnya akan pulang seperti elang. Tapi juga perlu
hati-hati, kadang-kadang elang lupa jalan pulang. Bila masih tersesat belum tahu
jalan pulang yang benar terus mati jadi bagaimana? Bahkan ada pula elang yang
pula sebagai gagak, bukan elang lagi.
Orang-orang
dari kalangan sekuleris dan liberalis, seringkali mereka berargumen sedang
berijtihad. Apa kriteria ijtihad?
Anak kiai
pun berijtihad. Orang yang berijtihad itu dia menggunakan kekuatan akalnya untuk
mencapai sesuatu. Tapi kalau orang gila maka hasilnya gila juga. Jadi hati-hati,
tak sembarangan orang bisa berijtihad, apabila di selimut kabut semua kelihatan
cantik, jerawat tak nampak, nyalakan lampu maka nampaklah.Kalau
ada orang jatuh pada kekeliruan makna ilmu dien, maka akan ada pula kekeliruan
dalam akhlak, politik, ekonomi dan keluarga. Sebab, penunjang dalam ilmu itu
adalah bagaimana orang mencapai ilmu itu sendiri. Dalam Islam, pertanyaan
tentang alam semesta yang dzohir bisa dijawab dengan lima panca ndera. Sains,
ilmu pengetahuan pun berpegang pada hal yang sama. Tapi Islam tidak berhenti
hanya di situ. Islam juga melandaskan kebenaran bisa dicapai dengan pasti bukan
sekadar dengan lima indera atau ilmu pengetahuan saja. Tapi juga dengan akal dan
hati yang sehat.
Masa
depan seperti apa yang harus dirintis kaum Muslim untuk?
Harus masa
depan yang ilmiah yang akhlakiah. Dua itu sudah cukup menjamin sebuah
kebahagiaan. Betatapun susah, bila kita yakin betul dan mengamalkan, insya Allah
akan sampai pula pada tujuan.
(www.sabili.com)