Rencana Ariel Sharon Pindahkan Permukiman Yahudi di Jalur Gaza
PM
Israel Ariol Sharon menyatakan, ia berencana memindahkan permukiman Yahudi di
Jalur Gaza. Namun, pihak Palestina meragukan pernyataan ini.Rencana ini
dilontarkan Sharon ketika bertemu dengan anggota Partai Likud di Al-Quds. Ia
mengatakan, salah satu usulan yang akan disampaikannya di Washington bulan ini
adalah mengosongkan kantong Yahudi di Tepi Barat. Tapi, rencana ini mendapat
penolakan dari Dewan Permukiman di Jalur Gaza. Menurutnya, rencana Sharon ini
adalah bentuk ketundukan Israel terhadap terorisme. "Israel adalah
satu-satunya negara yang tunduk kepada terorisme dan melarikan diri darinya, di
samping perlawanan Palestina terhadap Israel yang kian meningkat."
Adapun pemimpin Partai Buruh, partai oposan, Samon Biriz tidak mempedulikan
pernyataan Sharon ini. Yang terpenting baginya adalah pelaksanaan. "Rencana
berbeda dengan pelaksanaan dan kami harus memperhatikan perbedaan antara
keduanya," ujarnya.Penasehat Sharon Raknan Ghisin mengatakan, Sharon akan
bersungguh-sungguh terhadap rencana ini. Buktinya, ia telah mengumpulkan seluruh
anggota partainya Senin, lalu.
Palestina Meragukan
Sementara itu, pemimpin Israel Yaser Arafat meragukan kesungguhan rencana Sharon
yang ingin mengosongkan permukiman Yahudi di Jalur Gaza. Hal ini juga dikatakan
Nabil Abi Radinah penasehat presiden. "Pernyataan Sharon tidak
sungguh-sungguh dan hanya bertujuan memalingkan pandangan umum internasional
dari pelaksanaan kesepakatan yang terjadi dan peta jalan," katanya. "Pernyataan
itu tidak serius, di dalamnya tidak ada sesuatupun yang baru. Apa yang diucapkan
Sharon hanya bertujuan untuk menutup persoalan dalam negerinya dan melarikan
diri dari tuntutan dan kewajibannya" tambahnya kepada Al-Jazeera.
Menteri Urusan Perundingan Palestina Soib Ariqat mengatakan, "Israel telah
biasa membicarakan pengungsian permukiman dan ini hanyalah sekedar
"test" terhadap hubungan umum. "Bila Israel ingin meninggalkan
Gaza, satu orang Palestina pun tak akan menghentikan jalannya," ujarnya. (Diambil
dari: www.al-islam.net, Mart. '04)
Prancis Tolak Izin untuk Salat Jumat
Persoalan larangan Jilbab di Prancis belum lagi usai, Prancis kembali mengekang kebebasan beragama. Ia menolak izin seorang muslim untuk melaksanakan salat Jumat. Peristiwa ini dialami Ahmad bin Isa yang berprofesi sebagai penjaga gedung di San Diziyah. Ketika waktu salat Jumat tiba, ia meminta izin untuk mengikutinya, tapi permintaan ini ditolak. Dalam peraturan disebutkan, pegawai yang berada dalam jam kerja, dilarang meninggalkan tempatnya pada pukul 14.00 hingga 15.00 waktu Prancis, setiap Jumat. Hal ini juga ditegaskan oleh manajemen lembaga perumahan yang mengatakan, "Pihaknya tidak mungkin menerima permintaan izin ini." Ia kemudian mencontohkan dengan seorang ibu yang ditolak izinnya karena ingin menemani anaknya di sekolah. "Izin di waktu jam kerja, jelas tidak sesuai dengan tuntutan pelayanan," tambahnya. (Diambil dari: www.al-islam.net, Mart.'04)