Hantu Terrorisme
Oleh
ZA
Maulani
4,5 jam sebelum “Bom Marriott”
Kedubes AS membatalkan pesanan 10-20 kamar selama 3 hari. Esoknya polisi -atas
tekanan Amerika-mengaitkan keterlibatan Kelompok-kelompok Islam garis keras yang
ada di Indonesia sebagai dalangnya. Baca analisis ZA Maulani ini sebagai wacana
umum,dan dapat sebagai bahan pelajaran
bagi kita. Mantan Kabakin ini akan membeberkan tentang teori "Flase
flag" dalam operasi intelijen, yang
mengungkap kelicikan amerika dan sekutunya dalam menyudutkan musuhnya terutama
umat muslim.Selamat membaca!!!
Menurut penjelasan Kepala Badan Reskrim Mabes Polri, Komjen.
Pol. Erwin Mappaseng ada kesamaan modus peledakan di JW Marriot Hotel, Mega
Kuningan, dengan peledakan terdahulu yang terkenal dengan “Bom Bali” di
pantai Kuta, pada tanggal 12 Oktober 2002, dan peledakan di Kedubes Filipina.
Dalam pemeriksaan pengadilan terhadap tersangka pelaku serangan “Bom Bali”
seperti Amrozi dan Imam Samudera, terungkap dari pengakuan mereka dan keterangan
saksi, terutama Faiz bin Bakar Bafana, salah seorang tahanan kepolisian
Singapura melalui teleconference, bahwa Jama’ah Islamiyyah
adalah kelompok yang bertanggungjawab dalam serangan “Bom Bali”. Atas dasar
itulah Komjen.Pol. Erwin Mappaseng di atas, media-media kemudian menyimpulkan
dalam laporan mereka, bahwa Jama’ah Islamiyyah kembali sebagai kelompok
yang beraksi di belakang serangan terhadap JW Marriot Hotel. Laporan pers itu
juga dilatarbelakangi oleh tuduhan serta merta dari Perdana Menteri John Howard,
pada pagi-pagi Selasa, 5 Agustus 2003, hanya beberapa saat setelah terjadi
serangan terhadap JW Marriot Hotel, yang bertangungjawab atas serangan itu
adalah kelompok Jama’ah Islamiyyah.
Agaknya Kita harus berhati-hati terhadap tuduhan-tuduhan
yang mengkait-kaitkan berbagai serangan itu dengan kelompok-kelompok Islam yang
ada di Indonesia. Agar di catat, bahwa dalam pemeriksaan pengadilan “Bom
Bali” di Denpasar, Amrozi menarik pernyataannya tentang keterlibatannya dengan
Jama’ah Islamiyyah, dengan dalih selama pemeriksaan ia berada di bawah
tekanan polisi. Ia bukan hanya tidak terlibat, tetapi bahkan menyatakan tidak
tahu menahu apa itu Jama’ah Islamiyyah. Mengingat tidak ada bukti-bukti
yang dapat menguatkan tuduhan terhadap Amrozie sebagai anggota Jama’ah
Islamiyyah sampai amar majelis hakim dijatuhkan pada tanggal 7 Agustus 2003
lalu, maka keterlibatan Jama’ah Islamiyyah dalam serangan “Bom
Bali” masih gelap. Sumber keterangan awal tentang kelompok Jama’ah
Islamiyyah berasal dari Omar al Farouq yang ditangkap oleh aparat keamanan
di Bogor dan langsung diserahkan kepada pihak Amerika; konon berdasarkan
‘pengakuannnya’ di majalah TIME edisi September 2002. Untuk mengkonfirmasi
kebenaran berita dalam majalah TIME tersebut dan sumber beritanya, pengadilan
negeri Jakarta telah meminta kepada pemerintah Amerika Serikat untuk
menghadirkan Omar al Farouq in person sebagai saksi dalam perkara Abu
Bakar Ba’asyir, tetapi permintaan itu ditolak. Tuduhan keterlibatan
"Islam garis keras" juga dilemparkan oleh Kapolda Jawa Tengah, Irjen
Didi Widayadi, dalam pertemuannya dengan Asosiasi Pondok Pesantren Jawa Tengah
di Semarang pada tanggal 7 Agustus 2002, pada hari yang sama dengan serangan
terhadap JW Marriott Hotel. Menurut Kapolda Jawa Tengah keterangan itu
diperolehnya dari pengakuan tersangkan “Bom Semarang.”
Website detik.com melaporkan, berdasarkan informasi
dari seorang karyawan JW Marriot Hotel yang menolak disebut namanya, bahwa pada
pukul 08.00 hari Selasa tanggal 8 Agustus 2003 itu, atau 4,5 jam sebelum
terjadinya “Bom Marriott” Kedubes Amerika di Jakarta telah membatalkan
pemesanan 10-20 kamar untuk selama 3 hari. Dijelaskan olehnya, pemesanan itu
telah dilakukan beberapa hari sebelumnya, sedangkan
acara akan digelar mereka pada hari Rabu, tangal 9 Agustus 2003, keesokan
harinya.Sampai dengan hari ini, aparat keamanan belum dapat mengetahui banyak
organisasi Jama’ah Islamiyyah di Indonesia, strukturnya, luasnya,
tokoh-tokoh kuncinya, dan berbagai keterangan penting untuk memahami cara
bekerjanya organisasi yang disebut Jama’ah Islamiyyah itu. Tuduhan
tuduhan bahwa islam
garis keras ini menjadi otak
dan pelaku berbagai kejahatan terorisme di Indonesia pada umumnya dilemparkan
bahkan sebelumnya penyelidikan tuntas, apalagi ada keputusan pengadilan yang
didasarkan pada pembuktian tak terbantahkan tentang keterlibatan organisasi
tersebut. Jangan-jangan apa yang disebut Islam
sebagai teroris adalah suatu
tuduhan siluman belaka.
Dalam kegiatan dan operasi interlijen ada dikenal atau
disebut flase
flag, yaitu suatu kegiatan atau operasi yang dilakukan oleh suatu
pihak sehingga dampak dari kejadian itu akan dinisbahkan kepada pihak yang
dikehendaki. Israel dan Amerika Serikat di kenal
sangat sering melancarkan operasi false flag dalam rangka menyudutkan
lawan-lawan mereka. Sebagai contoh aktual, pada tanggal 16 Mei 2002 yang silam,
seorang yang dikenal konon sebagai ‘pemburu dan pedagang barang antik’
berkebangsaan Amerika, Michael Meiring (65),
ditemukan terkapar di kamar hotelnya, Evergreen Hotel, di Ramon Magsaysay
Avenue, Manila bergelimang darah dengan kaki dan tangannnya bergelayutan hampir
putus, ketika ia salah atau "kecelakaan" dalam proses merakit bom di
dalam kamarnya. Tidak heran kalau Kejaksaan Manila menuduh Meiring sebagai
teroris. Ia dituduh alang kepalang, yaitu ”memiliki bahan peledak secara tidak
sah, dan karena ke-sembrono-annya dalam menangani bahan peledak, telah
menyebabkan kecelakaan.”
Tetapi ‘teroris’ Meiring segera di
"aman"kan oleh AS dengan serta merta turun perintah dari Washington
langsung kepada Kedubes AS di Manila, diungsikan dari tempatnya ditahan dan
dirawat di Davao Medical Mission Hospital, segera dengan sebuah pesawat charter
khusus, langsung di terbangkan ke San Diego, California, pangkalan angkatan laut
AS terbesar, dengan kawalan khusus dan super ketat, yang oleh Badan Imigrasi
Filipina digambarkan dikawal oleh agen-agen dari US National Sucurity Agency
dan FBI. Wakil Konsul Amerika di Davao, Michael
Newbill, atas perintah Kedubes di Manila, segera buru-buru melunasi kuitansi
tagihan rumah sakit. Koran Manila the Times mengutip keluhan seorang
pejabat Departemen Kehakiman Fiipina yang mengatakan mereka menerima sepucuk
surat dari Kedubes Amerika di Manila bahwasannya Michael Meiring tidak
diperkenankan dituduh sebagai teroris sehubungan dengan kasus ‘kecelakaan’
di hotelnya, dan penyelidikan ke arah itu harus dihentikan, ditutup. Pemerintah
Filipina tidak kuasa menolak terkecuali terbengong-bengong.
Jaksa pemerintah Manila, Bendico mengatakan teroris yang
dilindungi pemerintah amerika itu sebenarnya sedang dalam rangka dan
merencanakan meledakkan hotell Evergreen. Koran The Manila Times dalam
tiga edisi 29-31 Mei 2002 berturut-turut mengungkapkan fakta yang sangat valid
untuk dipercaya. Menurut the Times, Michael terrence Meiring sebenarnya seorang agen CIA.
Sehari-harinya Meiring mengaku sebagai penggemar dan pedagang barang-barang
antik. Pada kop surat perusahaannya yang bernama Parousia
International Trading Ltd beralamat 381 Smokeridge Trail, Calimesa,
California. Ia tiba di Filipina pada tahun 1992 tinggal lebih kurang setahun di
Metro Manila dan Luzon Utara, dimana ia langsung akrab dengan rekan-rekan dari The
National Bereau of Investigation (NBI) dan bahkan dilindungi oleh bos
Interpol dari NBI, Richardo Diaz. Kemudian dia mondar mandir selama 10 tahun di
Davao, ia bukan hanya bersahabat karib dengan para petinggi di Mindanao Selatan,
dengan perwira-erwira kepolisian seperti kolonel Segando Duran, tetapi dari berita
santer, ia juga diketahui dekat dengan tokoh mantan ketua Moro Islamic
Liberation Front (MILF) Nur Misuari, ketua Hashim Selamat, lalu dengan tokoh
MNLF panglima Tony Masa, dan beberapa orang lagi di Kotabato yang berperan
sebagai penghubung dengan kelompok Abu Sayyaf, bahkan juga dengan pemimpin The
New People’s Army yang komunis, Romo Navarro.
Selama itu ia diketahui membelanjankan berjuta dolar,
sedangkan sumber dananya tidak pernah jelas. Menurut the Times sebagian
dari uang dolar Amerika itu berasal dari kelompok Abu Sayyaf. Menurut omongan
bualan Meiring kepada kawannya David Hawthorn yang menceritakan kepada the
Times, uang itu berasal dari jual beli ‘barang-barang antik’. Tetapi
kalangan intel Filipina mencium duit itu berasaldari jual beli bahan peledak
antara” Si pedagang barang antik” itu dengan pemberontak MILF, MNLF, Abu
Sayyaf, dan berbagai kelompok pemberontak lainnya. Melalui jual beli bahan
peledak itu Michael Meiring memperoleh kredensialnya dengan kelompok-kelompok
pemberon tak yang beraneka ragam itu. Jadi jelasnya, menurut temuan the Times,
Michael
Meiring adalah seorang agen CIA yang dari cara bagaimana ia segera
‘diamankan’ oleh parat intelijen Amerika, ditengarai memiliki hubungan
langsung dengan Gedung Putih.
Sehubungan dengan aksi kegilaan gila Meiring, menurut
Rosanna Halong, istri dari Abu Sabaya yang tokoh kelompok abu Sayyaf, Michael
Meiring berhasil meyakinkan Sabaya dan pasukannya menyusup ke Sabah, yang
disebutnya sebagai ‘ tanah air nenek moyang bangsa Moro’. Sabaya berhasil ditunggangi Meiring untuk melakukan pengacauan di negara bagian
Malaysia ini dalam rangka konon mendirikan The United States of Mindanao and
North Borneo. Michael Meiring sudah lama membantu kelompok-kelompok
pemberontak itu melakukan serangan-serangan bom di Mindanao Selatan, Davao dan
Manila dengan bahan peledak yang tersedia cukup di tangannya, untuk
menunjukkan kepada pemerintah Filipina hadirnya kelompok-kelompok fundamen talis
Islam di Filipina. Sebuah studi dari Rand Coorporation menyusun peristiwa
11-sept menyarankan agar pemerintah Amerika Serikat sangat perlu membangun
kembali pangkalan militernya di Filipina. Operasi serangan –serangan gerilya
dan peledakkan bom yang menjadi-jadi di Mindanao Selatan dan ibukota Manila oleh
kelompok yang dikordinir Michael Meiring, membuat pemerintah Arroyo menyetujui
‘bantuan’ berupa perkuatan pasukan Amerika ke Mindanao Selatan untuk
menumpas ‘teroris’ Islam MILF, Abu Sayyaf, dan lain-lain. Pelajaran yang dapat
ditarik dari operasi-operasi ‘false flag’, seperti antara lain ulah Michael
Terrence Meiring, agen CIA di Filipina, sang terroris buatan amerika inilah
sebenarnya pelaku serangan-serangan bom yang sesungguhnya, yang
tidak selalu seperti yang tampak di permukaan kulit. Dalangnya bisa
srigala berbaju domba, maklum untuk kepentingan membangun hegemoni AS, ia
menghalalkan segala cara. Bukan tidak mungkin kasus serupa di Indonesia juga ulah
orang-orang semacam Michael Terrence Meiring
ini,sang terroris yang sebenarnya, yang memanfaatkan beberapa kelompok dan
perorangan di Indonesia untuk melakukan serangkaian "kekacauan' yang
ujung-ujungnya bisa diunakan sebagai alasan untuk membrangus dan menggerus umat Islam di Indonesia.
(Diambil
dari Hidayatullah.com).