Refleksi terhadap Hukum Mayoritas

Dari apa yang telah lalu, kita pun mengetahui bahwa ternyata oknum mayoritas tersebut (manusia) berjati diri amat dzaLim dan amat bodoh. Penentangan mereka terhadap para rasul yang membimbing mereka luar biasa. Demikian pula mayoritas mereka tidak beriman, tidak bersyukur, benci kepada kebenaran, keluar dari ketaatan, lalai dari ayat-ayat Allah menyesat kan orang lain dengan hawa nafsu dan tanpa ilmu, tidak mengetahui agama yang lurus, mengikuti persangkaan belaka, dan penghuni Jahannam. Demikianlah kacamata syariat memandang hukum mayoritas. Bila demikian kenyataannya, Lalu bagaimana dengan hukum mayoritas itu sendini?

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab menggolongkan hukum mayonitas ini ke dalam kaidah-kaidah yang dipegangi oleh orang-orang jahiliyyah, bahkan termasuk kaidah terbesar yang mereka punyal. Beliau berkata: “Sesungguhnya di antara kaidah terbesar mereka adalah berpegang dan terbuai dengan jumlah mayoritas. Mereka menilai suatu kebenaran dengan nya, dan menilai suatu kebatilan dengan langka dan dengan sedikitnya orang yang melaku kan” (Kitab Masail AI-Jahiliyyah, masalah ke-5).Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: “Di antara karakter jahiliyyah adalah; bahwa mereka menilai suatu kebenaran dengan jumlah mayoritas, dan menilai suatu kesalahan dengan jumlah minoritas, sehingga sesuatu yang diikuti oleh kebanyakan orang berarti benar, sedangkan yang diikuti oleh segelintir orang berarti salah. Inilah patokan yang ada pada diri mereka di dalam menilai yang benar dan yang salah. Padahal patokan ini tidak benar, karena Allah berfirman: “Dan jika kamu menuruti moyaritas orang­orang yang ada di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah).“ (AI-An’am: 116)Allah juga berfirman:“Tetapi mayoritas manusia tidak mengetahui.”(AI-A’raf: 187) “Dan Kami tidak mendapati mayoritas mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati moyaritas mereka orang-orang yang fasik.” (AI-A’raf: 102)Dan lain sebagainya.” (Syarh Masail Al­Jahiliyyah, haL. 60).

Bila demikian permasalahannya, maka betapa ironisnya pernyataan para budak demokrasi bahwa “suara rakyat adalah suara Tuhan”Suatu pernyataan sesat yang memposisikan suara rakyat (mayoritas) pada tingkat tertinggi yang tak akan pernah salah bak suara Tuhan. Mau dikemanakan firman-firman Allah di atas?! Yang Lebih tragis Lagi, orang-orang yang mengkampanyekan diri sebagal “partai Islam”   siang dan malam berteriak “tegakkan syariat Islam!!”, namun sejak awal kampanyenya yang dibidik adalah suara terbanyak, tak mau tahu suara siapakah itu. Dan ketika duduk di kursi dewan, teriakannya pun hanya sampal pada kata “tegakkan” sedangkan kata “syariat Islam” tak lagi terdengar. Jangankan menegakkan syariat Islam, menampakkan syi’ar Islam pada dirinya saja masih harus mempertimbangkan sekian banyak pertimbangan. Terlebih lagi ketika rapat dan sidang digeiar, hasilnya pun berujung pada suara terbanyak. Tak mau tahu, suara siapakah itu... tak mau peduii, apakah sesuai dengan syariat Islam ataukah justru menguburnya..tak mau pusing, apakah menguntungkan umat Islam ataukah justru menelantarkannya. Dan ketika hasil sidang ersebut diprotes karena tak selaras dengan syariat Islam, maka dia pun orang yang pertama.Kala berkomentar bahwa ini adalah suara mayoritas anggota dewan, kita harus mempunyai sikap toleran..., kita harus menjunjung tinggi demokrasi..., dan lain sebagainya. Padahal jika belum duduk di kursi dewan, barangkali dialah orang pertama yang menggelar demonstrasi2 dengan berbagal macam atribut dan spanduknya. Wallahul Musta’an.

Demikianlah bila hukum mayoritas dikultuskan. Kesudahannya, akan semakan jauh dan hukum Allah, akan semakin buta tentang syariat Islam, bahkan akan menjadi penentang terhadap hukum Allah dan syariat-Nya. Para pembaca yang dirahmati Allah, sesungguhnya masih ada fenomena lain yang perlu dijadikan refleksi, yaitu digunakannya hukum mayoritas sebagai tolok ukur suatu dakwah. Apabita seorang da’i mempunyai banyak pengikut, ceramahnya diputar di seluruh radio nusantara dan akhirnya bergelar ‘da’i sejuta umat’ maka dakwahnya pun pasti benar. Sebaliknya bila seorang da’i pengikutnya hanya sedikit, maka dakwahnya pun dicurigai, bahkan terkadang divonis sesat. PadahaL Allah tetah berfirman tentang Nabi Nuh : “Dan tidaklah beriman bersamanya (Nuh) kecuali sedikit.” (Hud: 40) Rasuluttah bersabda: “Telah ditampakkan kepadaku umat-umat, maka aku melihat seorang nabi bersamanya kurang dan 10 orang, seorang nabi bersamanya satu atau dua orang, dan seorang nabi tidak ada seorang pun yang bersamonya....” (HR. ­Bukhan no: 5705,5752, dan Muslim no:220, dan hadits Abdullah bin ‘Abbas) Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alusy-Syaikh berkata: “Dalam hadits ini terdapat bantahan bagi orang yang berdalih dengan hukum mayoritas dan beranggapan bahwa kebenaran itu selalu bersama mereka. Tidaklah  demikian adanya, bahkan yang semestinya adalah mengikuti At Qur’an dan Assunnah, bersama siapa saja dan di mana saja”. (Taisir Al’Azizil Hamid. hal. 106) Asy-Syaikh Muhammad Shalih Al Ustaimin berkata: Tidak boleh tertlpu dengan jumlah mayoritas, karena jumlah mayoritas terkadang di atas kesesatan, Allah berfirman:”‘Dan jika kamu rnenuruti mayoritas orang-orang yang ada di muka bumi, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak  lain hanyalah berdusta terhadap Allah ” (Al-Anam: 116)

Jika kita melihat bahwa mayoritas penduduk bumi berada datam kesesatan, maka janganlah tertipu dengan mereka. Jangan pula engkau katakan: sesungguhnya orang-orang melakukan demikian, mengapa aku eksklusif tidak sama dengan mereka” (AI-Qailul Mufid ‘Ala Kitabit Tauhid, 1/106)  Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan AI-Fauzan berkata:” ‘Maka tolok ukurnya bukanlah banyaknya pengikut suatu madzhab atau perkataan namun tolak ukurnya adalah benar ataukah bathil. Selama ia benar walaupun yang mengikutinya hanya sedikit atau bahkan tidak ada yang mengikutinya, maka itulah yang harus dipegang (diikuti) karena Ia adalah keselamatan.Dan selamanya sesuatu yang bathil tidaklah terdukung (menjadi benar) Dikarenakan banyaknya orang yang mengikutinya. Inilah tolak ukur yang harus selalu dipegangi oleh setiap muslim.” Belaiu juga berkata: “Maka tolak ukurnya bukanlah banyak (mayoritas) atau pun sedikit (minoritas), bahkan tolak ukurnya adalah al-haq (kebenarar) Barangsiapa di atas kebenaran- walaupun sendirian- maka. Ia benar dan wajib diikuti, dan jika mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan maka wajib ditolak dan tidak boleh tertipu dengannya. Jadi tolak ukurnya adalah kebenaran, oleh karena itu para ulama berkata: ‘Kebenaran tldaklah dinilai dengan orang namun oranglah yang dinilai dengan kebenaran. Barang siapa diatas kebenaran maka ia wajib diikuti. (Syarh Masail Al­Jahiliyyah, haL. 60). Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah Alusy-Syaikh berkata: “Hendaknya muslim berhati-hati agar tidak tertipu dengan jumlah mayoritas, karena telah banyak orang-orang yang tertipu (dengannya), bahkan orang-orang yang mengaku berilmu sekalipun. Mereka berkeyakinan di dalam beragama sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang bodoh lagi sesat (yaitu mengi kuti mayoritas manusia -pen) dan tidak mau melihat kepada apa yang dikatakan oleh Allah dan Rasul-Nya”. (Qurratu ‘uyunil Muwahhidin, dinukil dari ta’liq (catatan kaki) Fathul Majid, hal. 83, no. 1)

 Bagaimanakah jika mayoritas berada di atas kebenaran?

Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan berkata: ‘ya, jika mayoritas manusia berada di atas kebenaran, maka ini sesuatu yang baik. Namun sunnatullab menunjukkan bahwa mayoritas (manusia) berada di atas kebatilan :“Dan moyoritas manusia tidak akan beriman, walaupun kamu (Muhammad) sangat menginginkannya.” (yusuf: 103)

 Penutup

Dari pembahasan yang telah lalu, dapatlah diambil suatu kesimpulan bahwasanya hukum mayoritas bukan dari syariat Islam, sehingga ia tidak bisa dijadikan sebagal tolak ukur kebenaran suatu dakwah, manhaj dan perkataan. Totak ukur yang hakiki adatah kebenaran yang dibangun di atas Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman As-Salafush Shalih.Atas dasar ini maka sistem demokrasi yang menuhankan suara mayoritas adalah bathil Demikian pula sikap mengukur benar atau tidaknya suatu dakwah, manhaj, dan perkataan dengan hukum mayoritas, merupakan perbuatan bathil dan bukan dan syaniat Islam. Wallahu a’lam

2

(diambil dari www.asysyariah.com)

 

  Ke Halaman 1