Hukum Meriwayatkan Hadits Dhaif Untuk Fadhailul A'mal, Targhib dan Tarhib
Sebagian
dari kaum muslimin menyangka bahwa masalah mengamalkan hadits-hadits dhai'if
untuk fadhaa-ilul a'mal atau targhib dan tarhib tidak ada khilaf lagi -tentang
bolehnya- diantara para ulama. Inilah persangkaan yang jahil. Padahal,
kenyataannya justru kebalikannya, yakni telah terjadi khilaf diantara para ulama
sebagaimana diterangkan secara luas di dalam kitab-kitab mushthalah. Dan menurut
madzhab Imam Malik, Syafi'i, Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma'in, Abdurrahman bin
Mahdi, Bukhari, Muslim, Ibnu Abdil Bar, Ibnu Hazm dan para imam ahli hadits
lainnya, mereka semuat tidak membolehkan beramal dengan hadits dha'if secara
mutlaq meskipun untuk fadhaa-ilul a'mal. Tidak syak lagi inilah madzhab yang haq.
Karena tidak ada hujjah kecuali dari hadits-hadits yang telah tsabit dari
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Cukuplah perkataan Imam Syafi'i
rahimahullahu ta'ala: Apabila
telah shah sesuatu hadits, maka itulah madzhabku.
Adapun
yang dimaksud oleh sebagian ulama bahwa boleh beramal dengan hadits-hadits
dhai'if untuk fadhaa-ilil amal atau tarhib dan targhib ialah apabila telah
datang nash yang shahih secara tafshil yang menetapkan (itsbat) tentang sesuatu
amal, baik wajib, sunat, haram atau makruh, kemudian datang hadits-hadits
dhai'if (yang ringan dha'ifnya) yang menerangkan tentang keutamaannya (fadhaa-ilul
a'mal) atau tarhib dan targhibnya dengan syarat hadits-hadits tersebut tidak
sangat dha'if atau maudhu' (palsu) maka inilah yang dimaksud oleh sebagian ulama:
boleh beramal dengan hadits-hadits dha'if untuk fadhaa-ilul a'mal atau targhib
dan tarhib. Akan tetapi para ulama yang membolehkan tersebut telah membuat
beberapa persyaratan yang sangat berat dan ketat.
Syarat
pertama: hadits
tersebut khusus untuk fadhaa-ilul a'mal atau targhib dan tarhib, tidak boleh
untuk akidah atau ahkaam atau tafsir Qur-an. Jadi seseorang yang akan membawakan
hadits-hadits dha'if terlebih dahulu harus mengetahui mana hadits dha'if yang
masuk bagian fadhaail dan mana hadits dha'if yang masuk bagian akidah atau
ahkaam.
Syarat
kedua: hadits
tersebut tidak sangat dha'if apalagi hadits-hadits maudhu', bathil, mungkar dan
hadits-hadits yang tidak ada asalnya. Untuk membawakannya seseorang harus dapat
membedakan derajat hadits-hadits tersebut. Dan ini tidak dapat dilakukan kecuali
oleh orang-orang yang ahli dalam hadits.
Syarat
ketiga: hadits
tersebut tidak boleh diyakini sebagai sabda Nabi shalallahu 'alaihi wasallam.
Syarat
keempat: hadits
tersebut harus mempunyai dasar yang umum dari hadits shahih.
Syarat
kelima: hadits
tersebut tidak boleh dimasyhurkan (diangkat ke permukaan sehingga dikenal umat).
Imam Ibnu Hajar rahimahullahu ta'ala mengatakan bahwa apabila hadits-hadits
dhai'if itu dimasyhurkan niscaya akan terkena ancaman berdusta atas nama Nabi
shalallahu 'alaihi wasallam.
Syarat
keenam: wajib
memberikan bayan (penjelasan) bahwa hadits tersebut dha'if saat menyampaikan
atau membawakannya.
Syarat
ketujuh: dalam
membawakannya tidak boleh menggunakan lafadz-lafadz jazm (yang menetapkan),
seperti: 'Nabi shalallahu 'alaihi wasallam telah bersabda' atau 'mengerjakan
sesuatu' atau 'memerintahkan dan melarang' dan lain-lain yang menunjukkan
ketetapan atau kepastian bahwa Nabi shalallahu 'alaihi
wasallam benar-benar bersabda demikian. Tetapi wajib menggunakan lafadz tamridh
(yaitu lafadz yang tidak menunjukkan sebagai suatu ketetapan). Seperti: 'Telah
diriwayatkan dari Nabi Shalallahu 'alaihi wasallam' dan yang serupa dengannya
dari lafadz tamridh sebagaimana telah dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam
muqodimah kitabnya al majmu'syarah muhadzdzab (1/107) dan para ulama lainnya.
Jadi
demikianlah, kita hendaklah tidak memudah-mudahkan meriwayatkan suatu hadits
sampai kita yakin betul bahwa hadits tersebut benar-benar shahih dan apabila
kita hendak membawakan hadits dha'if untuk fadhaa'ilul a'mal maka perhatikan
syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh para ulama kita seperti telah
disebutkan di atas. Wallahu a'lam.
Rujukan: Majalah As-Sunnah No.03/Th.I Rajab 1413H, hal. 5-9.